Prodi SPI Gelar Seminar Nasional
Dalam rangka Dies maulidiyah 5 tahun Prodi Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Jember talah mengadakan Seminar Nasional yang dilaksanakan pada 23 Februari 2020. Kegiatan ini menghadirkan Nara Sumber yang sudah tersohor yaitu KH. Agus Sunyoto (Lesbumi PBNU) dan dosen Universitas Negeri Jember Mohammad Ilham Zoebari. Selain menghadirkan kedua narasumber tersebut kegiatan tersebut juga menghadirkan musik patrol dan seni budaya Pandhalungan Can macanan disertai music pengiringnya. Kegiatan tersebut meriah sekali dengan kehadiran peserta kurang lebih 700 peserta yang dihadiri seluruh civitas akademik IAIN Jember.
Dalam kegiatan tersebut banyak hal yang dapat diperoleh dari apa yang disampaikan oleh nara sumber yaitu bahwa Giri dan Blambangan punya hubungan historis yang cukup istimewa. Konon Sunan Giri punya trah Blambangan. Karena penghormatan terhadap Blambangan, dakwah Sunan Giri dan para walisongo tidak banyak menyentuh Blambangan. Ada semacam konsensus politik yg tidak tertulis kalo Giri tidak akan mengusik keagamaan Blambangan. Demikian pula Blambangan tidak akan intervensi urusan politik di Giri. Bahkan Kedaton di Blambangan ada yg diadukan di Giri, sehingga populer dengan sebutan Giri Kedaton. Sebaliknya, di Blambangan nama Giri pun juga diabadikan untuk penanda suatu daerah. Hubungan Giri-Blambangan mulai berubah tatkala Mataram berkuasa. Hasrat politik Mataram untuk menundukkan Blambangan, membuat Blambangan kian antipati ke Jawa dan Islam. Meski demikian Mataram tidak sepenuhnya mampu menundukkan Blambangan baik secara politik maupun ideologi. Sampai akhirnya datang kaum kolonialis Belanda yang juga berhasrat untuk menundukkan daerah para pemberontak ini untuk kepentingan ekonomi-politiknya. Usaha untuk itu pun tdk berlangsung mulus. Blambangan yg mendapat support penuh dr sekutunya, Bali, sulit tuk dijinakkan. Akhirnya Belanda pun menggunakan senjata pungkasnya yakni politik belah bambu dg mengkapitalisasi agama. Belanda mengislamkan salah satu pangeran Blambangan dan selanjutnya ditahbiskan menjadi bupati. Sejak saat itulah Islamisasi Blambangan bermula. Saat bersamaan, Belanda membuka areal perkebunan besar-besaran yg berimplikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja dlm jumlah besar. Belanda pun lantas mendatangkan pekerja sec masif terutama dari daerah Jawa dan Madura. Dlm perkembangannya kedua penduduk baru inilah dan para migran dari luar daerah yg turut ciptakan konfigurasi sosiologis baru. Belakangan muncullah segmen masyarakat eks Blambangan spt Jember yg mencoba merumuskan identitas kulturalnya. Para antropolog dan intelektual kemudian menawarkan formasi identitas bernama Pandhalungan (periuk besar yg menjadi melting pot bg beragam org dr latar etnik dan budaya yg plural). Konstruksi identitas ini dibarengi pl dg institusionalisasi dlm bentuk seni tradisi. Catatan pinggir dr Seminar Kebudayaan bersama K.H Agus Sunyoto (Lesbumi PBNU) dan Muhammad Ilham Zoebari (Dosen FIB Unej dan pegiat Rumah Daloeng).